Dalam
pembelajaran matematika sebenarnya pengajuan soal (problem posing) bukan
suatu yang baru, hanya karena proses tersebut dilakukan secara alami sehingga
tidak terpola secara khusus. Karena tidak terpola secara khusus sehingga para
guru dan pengamat pendidikan lainnya tidak menyadari bahwa model pengajuan soal
(problem posing) menempati posisi yang sangat strategis dalam upaya
meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal-soal
matematika.Dalam hal ini peserta didik perlu harus menguasai materi dan urutan
penyelesaian soal secara mendetail. Hal tersebut akan dicapai jika peserta
didik memperkaya khasanah pengetahuannya tidak hanya dari guru melainkan perlu
secara mandiri (Intan, 2007: 13).
Model pembelajaran problem
posing ini mulai dikembangkan di tahun 1997 oleh Lyn D. English, dan awal
mulanya diterapkan dalam mata pelajaran matematika. Selanjutnya, model ini
dikembangkan pula pada mata pelajaran yang lain (Wulandari, 2007: 24).
Beberapa
pendapat ahli tentang problem posing dapat dijelaskan sebagai berikut.
Silver (Irwan, 2011: 3) mengatakan bahwa dalam ranah pendidikan matematika, problem
posing mempunyai tiga pengertian, yaitu: 1) problem posing adalah
perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa
perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal
yang rumit (problem posing sebagai salah satu langkah problem solving),
2) problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan
syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka mencari alternatif
pemecahan lain atau mengkaji kembali langkah problem solving yang telah
dilakukan, dan 3) problem posing adalah merumuskan atau membuat soal
dari situasi yang diberikan.
Melengkapi
pendapatnya di atas, Silver (Irwan, 2011: 3) juga mengatakan problem posing merupakan
aktivitas yang meliputi merumuskan soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan
menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari
masalah-masalah yang diketahui tersebut serta menentukan penyelesiannya.
Pada prinsipnya, model pembelajaran
problem posing adalah suatu model pembelajaran yang mewajibkan para
siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal) secara
mandiri (Wulandari, 2007: 25).
Sementara
itu, Cai dan Brook (Irwan, 2011: 4) juga menyebut problem posing dengan looking back in problem solving.
Prinsipnya sama saja dengan problem
posing yang telah dijelaskan sebelumnya. Setelah siswa menyelesaikan
permasalahan yang diberikan kepada mereka, mereka diminta untuk melihat kembali
hasil pekerjaannya. Dalam hal ini, ”melihat kembali” (looking back)
bukan untuk mencari ada yang salah atau tidak. Tujuannya di sini adalah:
1.
Membangun,
menganalisis, dan membandingkan dengan bentuk penyelesaian yang
lainnya(penyelesaian alternatif).
2.
Membuat
soal sejenis serta penyelesaiannya.
3.
Membuat
generalisasi.
Problem posingdalam pembelajaran matematika juga dapat merupakan
suatu bentukpendekatan yang menekankan pada perumusan soal dan
menyelesaikannya, yang dapatmengembangkan kemampuan berpikir matematis atau
menggunakan pola pikir matematis.Hal inisejalan dengan pendapat English (1998)
yang menjelaskan bahwa problem posing adalah pentingdalam kurikulum
matematika karena di dalamnya terdapat inti dari aktifitas matematika, termasuk
aktifitas dimana siswa membangun masalah sendiri. Beberapa aktifitas problem
posing mempunyaitambahan manfaat pada perkembangan pengetahuan dan
pemahaman anak terhadap konsep pentingmatematika.
Gambaran konkret pelaksanaan
pengajaran dengan pendekatan problem
posing menurut Suryosubroto (2009) adalah sebagai berikut:
1. Tahap
Perencanaan
a. Penyusunan
rancangan kegiatan dan bahan pembelajaran.
b. Guru
mengorganisasi bahan pembelajaran dan mempersiapkannya.
c. Guru
menyusun rencana pembelajaran, termasuk diantaranya kisi-kisi hasil belajar
ranah kognitif dan afektif.
2. Tindakan
a. Guru
menjelaskan tentang pembelajaran yang akan diharapkan kepada siswa dengan
harapan mereka dapat memahami tujuan serta dapat mengikuti dengan baik proses
pembelajaran, baik dari segi frekuensi maupun intensitas. Penjelasan meliputi
bahan yang akan diberikan kegiatan sampai dengan prosedur penelitian yang
mengacu pada ketercapaian prestasi belajar baik dari ranah kognitif maupun
afektif.
b. Guru
melakukan tes awal yang hasilnya digunakan untuk mengetahui tingkat daya kritis
siswa. Hasil tes tersebut akan menjadi dasar pengajar dalam membagi peserta
didik ke dalam sejumlah kelompok. Apabila jumlah siswa dalam satu kelas adalah
30 orang, agar kegiatan dalam kelompok berjalan dengan proporsional maka setiap
kelompok terdiri dari 5 orang sehingga akan ada 6 kelompok. Fungsi pembagian
kelompok ini antara lain untuk memperoleh pengamatan yang terfokus, namun juga
merata, dalam arti setiap kelompok hendaknya terdiri atas siswa yang memiliki
kecerdasan heterogen.
c. Pengajar
kemudian menugaskan setiap kelompok belajar untuk meresume beberapa buku yang
berbeda dengan sengaja dibedakan antarkelompok.
d. Masing-masing
siswa dalam kelompok membentuk pertanyaan berdasarkan hasil resume yang telah
dibuatnya dalam lembar problem posing
Iyang telah disiapkan (antara 5-7 pertanyaan).
e. Kesemua
tugas membentuk pertanyaan dikumpulkan kemudian dilimpahkan pada kelompok yang
lainnya. Misalnya tugas membentuk pertanyaan kelompok 1 diserahkan kepada
kelompok 2 untuk dijawab dan dikritisi, tugas kelompok 2 diserahkan kepada
kelompok 3, dan seterusnya hingga kelompok 6 kepada kelompok 1.
f. Setiap
siswa dalam kelompoknya melakukan diskusi internal untuk menjawab pertanyaan
yang merekaterima dari kelompok lain disertai dengan tugas resume yang telah
dibuat kelompok lain tersebut. Setiap jawaban atas pertanyaan ditulis pada
lembarproblem posing II.
g. Pertanyaan
yang telah ditulis pada lembar problem
posing I dikembalikan pada kelompok asal untuk kemudian diserahkan pada
guru dan jawaban yang terdapat pada lembar problem
posing II diserahkan kepada guru.
h. Setiap
kelompok mempresentasikan hasil rangkuman dan pertanyaan yang telah dibuatnya
pada kelompok lain. Diharapkan adanya diskusi menarik diantara
kelompok-kelompok baik secara eksternal maupun internal menyangkut pertanyaan
yang telah dibuatnya dan jawaban yang paling tepat untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan
yang bersangkutan. Pada saat yang bersamaan guru menyerahkan pula format
penelitian yang diisi siswa sendiri (evaluasi diri). Jadi, siswa diberikan
kesempatan untuk menilai sendiri proses dan hasil pembelajarannya
masing-masing.
3. Observasi
Kegiatan
observasi sebetulnya dilakukan besamaan dan setelah rangkaian tindakan yang
diharapkan pada siswa. Observasi yang dilakukan bersamaan dengan tindakan
adalah pengalaman terdapat aktivitas dan
produk dalam kelompoknya masing-masing dan terdapat kelompok lainnya. Produk
yang dimaksudkan disini adalah sejauh mana kemampuannya dalam membentuk
pertannyaan. Apakah pertanyaan ataupun aktivitas lebih mengarah pada aspek
afektif.
Sedangkan Suyitno (Wulandari, 2007:
25) menguraikan dengan lebih sederhana penerapan model pembelajaran problem posingsebagai berikut:
a.
Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Penggunaan alat
peraga untuk memperjelas konsep sangat disarankan.
b.
Guru memberikan latihan soal secukupnya.
c.
Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang, dan siswa
yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat pula dilakukan
secara kelompok.
d.
Pada pertemuan berikutnya, secara acak guru menyuruh siswa untuk
menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan
siswa secara selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa.
e.
Guru memberikan tugas rumah secara individual.
Silver dan Cai
(Indiati, 2008: 218) memberikan istilah pengajuan soal diaplikasikan pada tiga
bentuk aktivitas kognitif yaitu:
a.
Pengajuan pre-solusi (Pre Solution Posing), yaitu perumusan
soal dari situasi yang diadakan.
b.
Pengajuan didalam soal
(Within Solution Posing), yaitu
perumusan ulang soal seperti yang telah diselesaikan.
c.
Pengajuan setelah
solusi (Post Solution Posing), yaitu
melakukan modifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk
membuat soal yang baru.
Dengan demikian,
kekuatan-kekuatan model pembelajaran problem
posing sebagai berikut:
a.
Memberi penguatan
terhadap konsep yang diterima atau memperkaya konsep-konsep dasar.
b.
Diharapkan mampu
melatih siswa meningkatkan kemampuan dalam belajar.
c.
Orientasi pembelajaran
adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
(Wulandari,
2007: 26-27).
Bagi siswa pembelajaran problem
posing merupakan keterampilan mental, siswa menghadapi suatu kondisi dimana
diberikan suatu permasalahan dan siswa memecahkan masalah tersebut.Model
pembelajaran problem posing (pengajuan soal) dapat dikembangkan dengan
memberikan suatu masalah yang belum terpecahkan dan meminta siswa untuk
menyelesaikannya (Silver, Kilpatrick dan shlesinger), pemikiran English dalam
menghasilkan pertanyaan baru dari masalah matematika yang diberikan dapat
menjadi aktivitas utama dalam mengajukan permasalahan.
Guru matematika dalam rangka
mengembangkan model pembelajaran problem posing (pengajuan soal) yang
berkualitas dan terstruktur dalam pembelajaran matematika, dapat menerapkan
prinsip-prinsip dasar berikut.:
1.
Pengajuan soal harus
berhubungan dengan apa yang dimunculkan dari aktivitas siswa di dalam kelas.
2.
Pengajuan soal harus
berhubungan dengan proses pemecahan masalah siswa.
3.
Pengajuan soal dapat dihasilkan
dari permasalahan yang ada dalam buku teks, dengan memodifikasikan dan
membentukulang karakteristik bahasa dan tugas.
Menggunakan model pembelajaran problem
posing dalam pembelajaran matematika dibutuhkan keterampilan sebagai
berikut:
1.
Menggunakan strategi pengajuan
soal untuk menginvestigasi dan memecahkan masalah yang diajukan.
2.
Memecahkan masalah dari situasi
matematika dan kehidupan sehari-hari.
3.
Menggunakan sebuah pendekatan
yang tepat untuk mengemukakan masalah pada situasi matematika.
4.
mengenali hubungan antara
materi-materi yang berbeda dalam matematika.
5.
Mempersiapkan solusi dan
strategi terhadap situasi masalah baru.
6.
Mengajukan masalah yang
kompleks sebaik mungkin, begitu juga masalah yang sederhana.
7.
Menggunakan penerapan subjek
yang berbeda dalam mengajukan masalah matematika.
8.
Kemampuan untuk menghasilkan
pertanyaan untuk mengembangkan strategi mengajukan masalah sebagai berikut:
a.
Bagaimana saya bisa
menyelesaikan masalah ini?
b.
Dapatkah saya mengajukan
pertanyaan yang lain?
c.
Seberapa banyak solusi yang
dapat saya temukan?
(Wulandari, 2007: 27-29)
Dengan demikian model pembelajaran problem posing tipe post solution posing yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aktivitas
pembelajaran yang meliputi merumuskan soal dari hal-hal yang diketahui dan
menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari
masalah-masalah yang diketahui tersebut serta menentukan penyelesiannya,
kemudian siswa membuat soal baru yang serupa dengan memodifikasi tujuan atau
kondisi soal yang telah diselesaikan sebelumnya.
Belum ada tanggapan untuk "Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Post Solution Posing"
Post a Comment