Pendekatan realistik didasarkan pada
pandangan Freudenthal tentang matematika, yaitu “mathematics must be
connected to reality and mathematics as human activity“ (Zulkardi, 2001).
Pandangan tersebut mengandung arti bahwa, pertama, matematika harus dekat
dengan siswa dan harus sesuai dengan situasi kehidupan sehari-hari, kedua,
matematika sebagai aktivitas manusia, mengandung arti bahwa siswa harus diberi
kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas dalam setiap topik matematika.
Sejalan dengan pengertian di atas,
Gravemeijer (1994: 13) mengungkapkan bahwa “student should be given the
oppurtunity to reinvent mathematics under the guidence of an adult“.
Berdasarkan pendapat ini siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali
ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa.
Dari kedua pendapat di atas dapat
diungkapkan bahwa pendekatan realistik adalah pendekatan pembelajaran yang
bertitik tolak dari hal-hal yang nyata atau kontekstual bagi siswa, menekankan
keterampilan proses matematisasi, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi
dengan teman sekelas sehingga mampu menemukan sendiri konsep yang sedang
dipelajari dan pada akhirnya menggunakan matematik itu untuk menyelesaikan
masalah baik secara individu maupun kelompok.
Setiap pendekatan satu dengan yang
lainnya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Adapun karakteristik dari
pendekatan realistik ini sebagaimana dijelaskan oleh Treffers dan Van den
heuvel-panhuizen (Suharta, 2004) adalah sebagai berikut.
1)
Menggunakan konteks “
dunia nyata “
Dalam pendekatan matematika
realistik, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata),
sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.
Melalui proses pengerjaan dari situasi konkret kesituasi abstrak dan dari matematika
informal ke matematika formal siswa akan mengembangkan konsep yang lebih
lengkap. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke
bidang baru dari dunia nyata. Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep
matematika dengan pengalaman sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi
pengalaman sehari-hari dan penerapan matematika dalam sehari-hari. Penggunaan
konteks dunia nyata dituangkan dalam masalah yang akan dipecahkan oleh siswa
dalam kelompoknya masing-masing.
2)
Menggunakan model-model.
Istilah model berkaitan dengan
model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self
developed models). Peran self developed models merupakan jembatan
bagi siswa dari situasi konkret kesituasi abstrak atau dari matematika informal
ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan
masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa.
Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model dari (model-of)
masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model untuk masalah
yang sejenis. Pada akhirnya akan menjadi model matematika formal. Penggunaan
model-model diterapkan ketika siswa memecahkan masalah realistik sesuai dengan
pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa, model-model tersebut
dibuat sendiri oleh siswa dan pada akhirnya akan digeneralisasikan dalam bentuk
formal.
3)
Menggunakan konstruksi
dan produksi.
Konstruksi siswa dapat diperoleh
dari berbagai kegiatan. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep
atau model dalam matematika. Guru berperan merangsang dan mengarahkan siswa
agar mereka dapat memberikan kontribusi secara optimal.
4)
Menggunakan interaktif.
Perlunya interaksi antar siwa
dengan guru dimaksudkan agar suasana kelas menjadi dinamis dan hidup. Dalam
interaksi di kelas, siswa ditempatkan sebagai fokus, sedangkan guru hanya
berfungsi sebagai moderator dan fasilitator. Interaktif akan tampak dalam kegiatan
interaksi siswa dengan bahan ajar dan diskusi antar anggota kelompok atau antar
kelompok serta tanya jawab di dalam kelas.
5)
Menggunakan keterkaitan
(intertwinment)
Adanya keterkaitan antar topik ini
dapat memudahkan siswa memahami suatu konsep. Sebuah topik lebih sukar
dipelajari jika tidak dikaitkan dengan konsep sebelumnya atau dengan kehidupan
sehari-hari. Intertwinment dapat terlihat dari cara siswa memecahkan
masalah realistik, yaitu dari model-model yang dibuat sendiri sesuai dengan
pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa. Model-model tersebut
baik prosedur maupun konsep yang dipakai berkaitan dengan konsep, topik lain
yang sudah dipelajari oleh siswa.
Menurut Suyitno
(2006:37), implementasi pendekatan matematika realistik di sekolah meliputi
hal-hal berikut: guru menyiapkan satu atau dua soal realistik (soal yang ada
kaitannya dengan kehidupan sehari-hari) yang akan dikerjakan para siswa secara informal atau coba-coba
(karena langkah penyelesaian formal belum diberikan oleh). Guru mengumpulkan hasil pekerjaan siswa. Selanjutnya,
guru mengoreksi hasil pekerjaan siswa dengan berprinsip pada penghargaan
terhadap keberagaman jawaban siswa dan kontribusi siswa. Guru dapat menyuruh
beberapa siswa untuk menjelaskan temuannya di depan kelas. Dengan tanya jawab
guru perlu mengulang jawaban siswa (tidak harus terutama jika ada pembiasaan
konsep). Setelah itu guru baru menunjukkan langkah formal yang diperlukan untuk
menyelesaikan soal tersebut, bisa
didahului dengan penjelasan tentang materi pendukungnya.
Sedangkan menurut
Suharta (2004) implementasi RME di kelas meliputi tiga fase sebagai berikut.
1)
Fase
Pengenalan
Pada fase ini guru
memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh
siswa serta membantu untuk memberi pemahaman (setting) masalah. Pada fase ini sebaiknya ditinjau ulang semua
konsep-konsep yang berlaku sebelumnya dan diusahakan untuk mengaitkan masalah
yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa sebelumnya untuk memberi pemahaman
masalah.
2)
Fase
Eksplorasi
Dalam fase eksplorasi
ini, siswa bekerja dalam kelompok kecil. Pada saat siswa sedang bekerja, mereka
mencoba membuat model situasi masalah, berbagi pengalaman atau ide,
mendiskusikan pola yang dibentuk saat itu, serta berupaya membuat dugaan selanjutnya
membuat model situasi masalah kemudian membuat dugaan. Selanjutnya dikembangkan
strategi-strategi pemecaha masalah yang mungkin dilakukan berdasarkan pada
pengetahuan informal atau formal yang dimiliki siswa. Disini guru berupaya
meyakinkan siswa dengan cara memberi pengertian sambil berjalan mengelilingi
kelompok siswa, melakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan kelompok, dan memberi
motivasi kepada siswa untuk giat bekerja. Dalam hal ini, peranan guru adalah
memberikan bantuan seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan.
3)
Fase
Meringkas
Pada fase ini guru
membantu siswa meningkatkan belajar matematika secara efisien dan efektif. Peranan
siswa dalam fase ini sangat penting seperti mengajukan dugaan, pertanyaan
kepada siswa yang lain, bernegosiasi, alternatif-alternatif pemecahan masalah,
memberikan alasan, memperbaiki strategi dan dugaan mereka, serta membuat
keterkaitan. Sebagai hasil dari diskusi siswa diharapkan menemukan
konsep-konsep awal atau pengetahuan matematika formal sesuai dengan tujuan
materi. Dalam fase ini guru juga dapat membuat keputusan yang memungkinkan
semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika formal.
Di bawah ini menurut Mustaqimah (Asmin,
2003) beberapa keunggulan dari penerapan pendekatan matematika realistik adalah
sebagai berikut.
1)
Siswa tidak mudah lupa
dengan pengetahuaannya, karena siswa membangun sendiri pengetahuannya.
2)
Siswa tidak cepat bosan
untuk belajar matematika, karena suasana dalam proses pembelajaran menggunakan
realitas kehidupan.
3)
Siswa merasa dihargai
dan semakin terbuka, karena setiap jawaban siswa ada nilainya.
4)
Memupuk kerja sama
dalam kelompok.
5)
Melatih keberanian
siswa, karena harus menjelaskan jawabannya.
6)
Melatih siswa untuk
terbiasa berfikir dan mengemukakan pendapatnya.
7)
Pendidikan budi
pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman yang sedang
berbicara.
Belum ada tanggapan untuk "Pendekatan Matematika Realistik"
Post a Comment